Langsung ke konten utama

Dari gaji di bawah harga steak sampai gaji seharga motor keren

Pertama kali menerima uang dari hasil keringat sendiri adalah salah satu dari banyak alasan orang untuk mengingat gaji pertama. Tapi buat saya ternyata tidak banyak yang saya ingat. Ya iyalahhhh, gaji pertama saya sebagai karyawan saya terima tahun 1991 yang berarti 26 tahun yang lalu. Hadewwhhhh... yang baca tulisan ini bahkan mungkin belum mencapai usia 26 tahun ya. Yang jelas gaji yang terakhirlah yang saya ingat, hahaha.... Tapi sejujurnya gaji bukanlah hal utama bagi saya saat menjadi karyawan. Masa iya siy ? Buat saya YA.

Saya pernah bekerja di delapan perusahaan sepanjang karir selama 22 tahun karena saya pernah berhenti bekerja 4 tahun saat mengasuh anak saya semata wayang, sampai akhirnya mempensiunkan diri 2 tahun lalu. Awal karir saya sebagai karyawan adalah menjadi staf marketing sebuah sportclub dan  pusat rekreasi di kota Paris van Java. Saya melakoninya sambil menyelesaikan beberapa mata kuliah di dua universitas dimana saya menimba ilmu. Sibuk bener ya tampaknya... padahal tidak juga karena saya memang bukan orang yang betah diam. Setelah berkutat 4 tahun kuliah di dua universitas dengan jadwal padat, saya merasa punya kelebihan waktu di semester-semester akhir sehingga saya memutuskan untuk melamar pekerjaan tersebut. Gaji pada awal karir saya bukanlah fokus utama, karena selain masih menerima uang dari orangtua, saya cuma ingin tahu rasanya bekerja. Yang saya ingat cuma nominalnya kalau nilai sekarang, di bawah harga sebuah steak di restoran-restoran western lah pokoknya, hahaha....

dokumen pribadi - reuni dengan teman dari tempat kerja pertama 
Saya bekerja di tempat itu hanya satu tahun karena ayah saya mulai marah akibat skripsi saya tidak selesai-selesai dibuat. Akhirnya saya berhenti bekerja dan membuat skripsi saya hanya dalam waktu 3 bulan untuk kembali mulai bekerja di sebuah bank swasta nasional, yang sampai saat ini masih eksis berdiri. Gaji awalnya tidak berbeda jauh dari gaji saya di sportclub padahal saya memiliki tawaran lain yang gajinya 7x lipat. Saya tidak memilih tempat dengan gaji 7x lipat itu hanya dengan alasan sederhana, tidak ingin bekerja di ibukota. Saya memulai karir saya di dunia perbankan di sebuah kota kecil dengan gaji seadanya dan tinggal berdua dalam satu kamar kost dengan satu teman kerja. Saya bertahan di bank tersebut sampai lima tahun tetapi berpindah kota 3 kali. Berhenti dari bank tersebut, saya menganggur selama 3 bulan dan mendapatkan perkerjaan sebagai pemimpin cabang di bank yang lain, di satu kota yang sama dengan kantor yang saya tinggalkan. Suatu hal yang luar biasa dalam hidup saya bisa menjadi pemimpin cabang dalam usia 30 tahun  karena tidak seperti saat ini, di masa itu rata-rata pemimpin cabang berusia diatas 40 tahun. Gaji saya mendadak naik sekian kali lipat dari gaji terakhir saya di bank sebelumnya dan cukup untuk membuat saya mencicil rumah kecil untuk ibu saya di kampung. Luar biasa senangnya saat itu. Bertahan dua tahun, saya berhenti karena saya harus mengasuh anak saya dan pindah tempat tinggal ke ibukota. 

dokumen pribadi - foto jadul, dengan teman bank pertama saya bekerja
Empat tahun saya di rumah membesarkan anak dan keadaan memaksa saya untuk kembali bekerja. Seperti yang saya bilang dari awal, gaji bukanlah ukuran buat saya untuk bekerja. Prinsip saya, selama saya bekerja dengan baik, maka gaji akan mengikutinya. Saya memulai kembali sebagai wanita karir dan menerima gaji hanya 1/3 dari gaji saya terdahulu. Melas gak ? Gak siy buat saya, yang penting halal dan saya tidak menyusahkan siapa-siapa dalam hal keuangan. Saya bertahan satu tahun sebagai kepala bagian humas di sebuah sekolah tinggi dan akhirnya ada sebuah bank yang menawari saya untuk menerima jabatan sebagai Kepala Bagian Training dan Development di kantor pusatnya, dengan gaji 2 kali lipat gaji sebelumnya. Saya sangat menyenangi pekerjaan tersebut karena saya memang orangnya senang berbagi ilmu (banyak ngomonglah, ngaku aja hahaha..) khususnya untuk bidang "Customer Service" yang membuat sebagian sahabat saya, menyebut saya memang bermental "Upik Abu" hahaha....  Tetapi karena kondisi keuangan saya memburuk akibat satu dan lain hal, saya memutuskan menerima pekerjaan sebagai HRD manager di sebuah group restoran dengan gaji yang jauh lebih tinggi. Tidak lama saya di situ karena konflik dengan boss besar, hahaha... suatu saat saya harus menulis tentang ini. Saya bertahan hanya 5 bulan dan berpindah ke group perusahaan advertising yang cukup terkenal, dengan gaji 2/3 dari gaji saya di group restoran itu.

Jadi, jujur saya agak gagal paham dengan generasi sekarang yang selalu berkutat dengan masalah gaji saat pertama bekerja. Baru mulai akan bekerja, sudah menanyakan gajinya berapa, fasilitas apa saja yang di peroleh dsb, sementara dia saja belum mengerti  tugas dan tanggungjawabnya serta harus di berikan pendidikan lanjutan mengenai "layanan pelanggan" untuk bekerja. Layanan pelanggan yang saya maksudkan bukan hanya untuk konsumen perusahaan tetapi mencakup teman-teman kerja yang terkait dengan pekerjaannya. Mungkin saya yang kejadulan siy untuk urusan ini, tapi sepanjang 10 tahun terakhir saya bekerja, saya jarang menemukan karyawan yang mentalnya "upik abu" dengan wajah Cinderella. Rata-rata semua berwajah Cinderella tapi hasil kerjanya atau secara mental adalah Drunella dan Barbetta. Hahaha ngomong apa saya ini...

Ok kita bicara pekerjaan saya yang terakhir ya... Saat saya bekerja di perusahaan advertising itu, saya bertemu dengan teman lama saya dan beliau kemudian menawarkan pekerjaan kepada saya di dunia yang tidak pernah saya sentuh, yaitu perusahaan manufakturing. Sebelumnya saya selalu bekerja di perusahaan jasa di mana saya tidak bersentuhan dengan produk nyata tetapi hanya berupa layanan. Ini sebuah tantangan dan saya bimbang memutuskannya. Pada akhirnya saya berpindah juga ke perusahaan ini dan di berikan kepercayaan sebagai Directors' Assistant. Lima tahun saya bekerja di perusahaan tersebut dan mengerjakan berbagai pekerjaan yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Saya belajar cepat supaya dapat mengejar ketinggalan saya di bidang baru ini dan benar-benar saya mendapatkan banyak tambahan ilmu di situ. Gaji terakhir saya bisalah untuk membeli motor yang keren dengan harga aduhai itu... Lalu kenapa saya berhenti bekerja walaupun belum memasuki masa pensiun dan meninggalkan gaji yang lumayanan itu, juga dengan melalui proses antara iya apa enggak mau resign selama 6 bulan dan sampai 3 bulan setelah approval baru bisa meninggalkan jabatan itu, adalah nanti saatnya saya bercerita yaaa...

dokumen pribadi - tempat terakhir saya bekerja
Jadi, entahlah apa pengalaman kerja saya bisa dijadikan inspirasi, tetapi sampai sekarang saya sangat yakin yang menentukan gaji kita adalah hasil kerja kita. Walaupun ada di suatu masa kita merasa kita kurang di hargai dalam bentuk gaji atau fasilitas, suatu titik pasti itu akan terbayar...

SEMANGATTTTT...

Komentar

  1. podooo...diuyak2 skripsi...sampe dosen pembimbing nyariin muluu....laa aku malah kelayaban kerjooo hahaaa.... sampe kmd, bapak mencak2... terus aku mandeg kerjo...dan 3 bulan skripsi kelarrrrrrrrr :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menghargai yang terlambat ? No way

Dua bulan ini saya menghadiri banyak acara bagus-bagus yang di selenggarakan oleh beberapa perusahaan besar. Senang rasanya karena banyak yang saya pelajari dalam berbagai acara tersebut. Dari berbagai acara yang saya hadiri, ada yang di kelola dengan baik tetapi secara rata-rata saya kecewa dalam satu point penting, yaitu mengenai jadwal di mulainya acara. Saya memang orang yang memiliki kejelekan "terlalu tepat waktu" sehingga saya selalu merasa terganggu dengan waktu yang tidak jelas dan tidak sesuai jadwalnya. Buat saya awal yang baik adalah kunci kesuksesan dan untuk sebuah acara, dan awal yang baik adalah mulainya acara tepat waktu. Tentunya selain keramahan panitia, menariknya acara itu sendiri, terpenuhinya kepentingan saya di acara tersebut, dll. dokumen pribadi Mengamati beberapa acara dalam dua bulan ini dan mengingat banyaknya acara yang saya hadiri di sepanjang kehidupan saya, jujur saya merasa ada yang salah dengan urusan waktu ini.  Untuk kesekian

Memilih kaca film untuk mobil

Kali ini saya ingin berbagi mengenai seluk beluk kaca film mobil. Buat saya pribadi, kaca film di butuhkan karena sebagai pengendara perempuan, risih rasanya jika terlihat langsung dari luar mobil saat berkendara dan juga agak serem jika terlihat sedang berkendara sendirian melewati jalanan sepi di malam hari. Kejahatan bisa terjadi dimana saja dan tidak memandang jenis kelamin siy, tetapi tetap saja kalau perempuan kayanya lebih dipilih sebagai sasaran empuk, yaaa...   Ternyata banyak juga kegunaan lain dari kaca mobil selain hal tersebut di atas. Saya mendapatkan informasi ini dari acara yang di selenggarakan oleh Mobil 123 sebagai  portal otomotif nomor 1  dan  V Kool Indonesia  bekerjasama dengan Indonesian Social Blogprerneur (ISB) pada hari Rabu, 26 Juli 2017 kemarin di V Kool Flagship, jalan Trembesi, Jakarta Utara. Jadi apa saja ya kegunaannya ?  Menahan sinar matahari masuk langsung ke dalam mobil Tanpa menggunakan kaca film, suhu dalam mobil saat parkir menjadi leb

Tingkatkan Kemampuan Anak Dengan Belajar Di Luar Kelas

Belajar untuk orang-orang jaman old itu duduk manis, tangan dilipat sambil melototin buku di depan mata, gitu deh.... Padahal sebagai orang yang pernah menjadi anak-anak, semestinya kita menydaari bahwa model belajar diluar kelas justru lebih melekat hasilnya. Tidak hanya terbatas untuk anak-anak; sebagai orang dewasa, kita juga lebih rileks berada di luar ruangan di bandingkan harus terkungkung dalam cubical ruang kantor toh? Anak saya adalah salah satu pecinta kegiatan belajar di luar kelas. Itu sebabnya saat dia masih SD, guru-gurunya sangat kerepotan dengan polahnya di kelas. Anak saya tidak bisa duduk manis di kelas dan diam. Pola belajar di sekolahnya saat itu sebagian besar di dalam kelas sehingga mengakibatkan dia agak tersiksa. Setiap saat dia berkeliling kelas, melihat-lihat tugas teman-temannya dan terkesan mengganggu ketertiban.  Banyak teman-temannya yang menganggap anak saya "berbeda dan aneh" sehingga terjadi "bulliying" terhadapnya. Saat dit